copy paste dari mas wijang wijanarko
Beberapa mingggu lalu teman saya membuat status di wall facebooknya dengan foto sang Proklamator Bung Karno serta kalimat yang menggelitik yang bunyinya demikian: “ berikan aku seorang pemuda maka akan aku bangun Indonesia, dan jika kau berikan aku 10 orang pemuda maka akan aku guncang dunia” sebuah kutipan bebas dari Bung Karno yang menunjukan begitu berperan dan berharganya “pemuda”. Namun dengan “kenakalannya” teman saya menambahkan satu kalimat kecil di bawahnya sebagai berikut : “namun jangan kau berikan aku 7 orang alay dan lebay karena pasti nantinya mereka akan menjadi boy band…” kenakalan ini membuat saya tersenyum.
Kata “alay” dan “lebay” merupakan bahasa yang sering digunakan kelompok gaul masa kini yang seringkali dikonotasikan dengan sikap yang melebih-lebihkan dan cenderung kekanak-kanakan.
Kebetulan beberapa waktu yang lalu pula bersama teman-teman penggiat PLPBK di Jawa Tengah saya berbincang mengenai sikap alay dan lebay yang mungkin menjangkiti pelaku PNPM dan atau PLPBK.
Masih tercetak di ingatan saya ketika pak Sonny Kusuma (team leader P2KP Advanced saat itu) berkomentar “ gara-gara wijang maka seluruh lokasi PLPBK di Indonesia (memangnya ada lokasi PLPBK di luar Indonesia??) melakukan lomba gambar anak-anak sebagai kegiatan sosialisasi.”
Saya cukup terperangah pada saat itu apa yang salah ya? Lomba menggambar memang pernah saya lakukan untuk menggali impian anak-anak tentang lingkungannya di masa yang akan datang, dan hal tersebut saya tunjukan ke teman-teman penggiat PLPBK pilot project beberapa waktu yang lalu dengan maksud memancing ide dan gagasan baru sesuai dengan kondisi masing-masing lokasi.
Namun sungguh di luar dugaan saya ternyata banyak lokasi PLPBK yang “meniru” aktifitas tersebut tanpa cukup memahami dan memaknai lomba lukis sebagai “alat . “
Hasil temuan teman-teman yang melakukan monitoring, lomba gambar ini sering dimaknai “sekedar perhelatan lomba untuk memeriahkan acara” dan bukan alat menggali partisipasi ide serta gagasan.
Beberapa waktu kemudian saya mendapati kecendurungan yang mirip. Diawali dengan kegiatan festival Kali Reyeng di Kendal Jawa Tengah yang melakukan serangkaian acara pemasaran hasil pembangunan dan perencanaan PLPBK.
Kegiatan dilakukan dengan berbagai acara yang cukup gegap gempita, dan diakhiri dengan kegiatan Talkshow menghadirkan Direktur PBL, ternyata memicu adrenalin lokasi-lokasi PLPBK yang lain. Banyak wilayah yang mendadak sontak (bukan mendadak dangdut sebagaimana judul film) berlomba-lomba melakukan acara ceremonial pemasaran dengan berbagai judul (pameran, wayangan dan lain-lain).
Sampai di sini mungkin sah-sah saja membuat acara yang gegap gempita, medatangkan dan menyenangkan banyak orang dengan segala tontonan, namun hal tersebut menjadi menggelitik dan mengganjal ketika ada yang memberikan pertanyaan kecil: “ kalau sudah melakukan acara tersebut dengan segala pengeluaran biaya yang cukup besar, kira-kira berapa rupiah yang akan di dapat ? kira-kira di dalam hukum dagang balik modal nggak ya?” (nah lo???)
Pertanyaan kecil tersebut ternyata cukup sulit dijawab, jangan-jangan kegiatan-kegiatan tersebut lebih bersifat ceremonial dan sedikit lupa tentang substsansi mengapa kegitan tersebut dilakukan (tidak berbeda dengan kegiatan lomba gambar). Jika memang benar hanya sekedar ceremonial semata bukankah hal ini menjadi “sah” jika dipersamakan dengan kelompok “alay” dan “lebay”?
Lalu bagaimana dengan kegiatan-kegiatan yang lain ? Ketika data menunjukan sosialisasi PLPBK dengan berbagai bentuk telah berhasil mendatangkan ribuan orang, dan jutaan rupiah sponsor dari berbagai pihak sudahkah terpahami substansinya atau hanya sekedar upacara/perhelatan semata?
Bagaimana pula dengan pengerahan relawan yang terdaftar lebih dari 100 orang di masing-masing kelurahan pada saat PS dan penyusunan dokumen perencanaan? Sudahkah 100 orang itu memahami substansinya ataukah sekedar menikmati acara-acaranya yang gayeng semata?
Waduh kalau PLPBK alay dan lebay berarti kekanak-kanakan dong? Padahal PLPBK intervensi terakhir dari P2KP (katanya). Kenyataan ini cukup mengganggu tidur, dan rasanya perlu mencari celah untuk pemecahannya.
Rasanya tiada jalan lain untuk melakukan perubahan yang cukup mendasar di dalam menyikapi hal tersebut selain harus kembali memperkuat dan mempertebal pemahaman substansi dari semua aktifitas yang direncanakan dan dilakukan.
Satu hal yang pasti dan tidak boleh diingkari bahwa segala kegiatan yang dilakukan haruslah memberikan nilai tambah/kontribusi terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan kata lain masyarakat miskin di wilayah yang bersangkutan harus dapat merasakan manfaatnya secara nyata.
Untuk itu mungkin dapat dimulai dengan memahami kenapa perlu melakukan sosialisasi kembali kegiatan PLPBK, perlu memahami kembali makna melakukan Pemetaan swadaya di dalam PLPBK yang tidak sekedar mengumpulkan daftar kebutuhan dan masalah semata namun menemu kenali asset-aset (social,ekonomi, dan infrastruktur/Asset Based Community Development) yang ada di masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan secara komprehensif.
Demikan juga dengan memahami perencanaan di dalam PLPBK yang tidak sekedar menghitung dan merencanakan kegiatan dan atau proyek infrastruktur yang akan dibangun menggunkan biaya BLM semata namun lebih jauh dari itu perencanaan ini haruslah mampu memobilisasi resources yang ada untuk tujuan penanggulangan kemiskinan.
Lalu bagaimana pula dengan aktifitas pemasaran? Cukupkah pemasaran dimaknai mencari dana tambahan untuk proyek infrastruktur? Rasanya tidak, karena pemasaran PLPBK semestinya proses komunikasi yang sehat dan “seni mempengaruhi” berbagai pihak (internal dan eksternal) untuk bersama-sama menanggulangi kemiskinan.
Jika hal-hal tersebut kita lakukan maka peluang PLPBK untuk tampil secara “dewasa” dan bukan kekanak-kanakan (apalagi cengeng ) akan menjadi keniscayaan, karena “ menjadi tua itu keniscayaan tetapi menjadi dewasa yang tidak alay dan lebay itu pilihan”…..
tabiik
(sumber: PLPBK.groups.yahoo.com)
Komentar