Kita Peduli Kita Bisa Atasi

Artikel

Membangun Kepribadian Wira Usaha Bagi Pemula

Pembahasan topik ini bertujuan untuk membangkitkan keyakinan, kemauan, kepercayaan diri dan kemampuan warga miskin dalam ikhtiar merobah nasibnya sendiri dengan melakukan usaha menggunakan modal pinjaman dana bergulir dari UPK P2KP. Proses itu, diawali dengan menggugah kesadaran tentang kemampuan akal budi mereka yang masih terpendam, yang perlu digerakkan untuk mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi yang lebih baik bagi keluarganya. Kesadaran tentang hal tersebut, adalah fondasi penting untuk membangun kepribadian wirausaha.  Apabila upaya menggugah kesadaran berhasil, akan tumbuh dorongan internal yang kuat untuk melakukan ikhtiar (motivasi untuk berusaha). Kematangan psikologis seperti itu  diperlukan untuk tahap pengembangan selanjutnya, mempelajari kemampuan yang lebih teknis untuk memulai usaha. Sebagai langkah awal menggugah kesadaran, kita ajak mereka melihat kenyataan ini :

Sumber hidup puluhan juta orang
Puluhan juta rakyat Indonesia, hidup dari usaha mandiri; melakukan usaha tani (petani), menangkap ikan di laut (nelayan), memelihara ternak (peternak), membuat tempe (industri rumah tangga), membuka warung (pedagang), angkutan sepeda motor (ojek), membuka bengkel sepeda, bengkel sepeda motor,  reparasi peralatan elektronik, mengelas pagar (jasa), dan aneka jenis kegiatan usaha lainnya. Orang tua, saudara atau tetangga mereka mungkin memiliki sumber nafkah seperti itu. Namun, hanya sedikit dari mereka yang berkembang dalam volume usahanya, dari mikro menjadi kecil, menengah dan besar.

Memburuh atau usaha mandiri
Menjadi tenaga akhli profesional dalam bidang tertentu seperti akuntan, akhli konstruksi, akhli teknologi informasi, akhli perekayasaan mesin, atau menjadi pegawai negeri yang kompeten dan berbagai jenis pekerjaan dengan keakhlian khusus yang memerlukan pendidikan dan pengalaman, adalah kesempatan yang sangat sempit bagi rakyat miskin. Sementara menjadi buruh pabrik, upahnya sangat kecil dan tidak mencukupi untuk biaya hidup seluruh anggota keluarga. Tingkat upah seperti itu tidak memungkinkan sebuah keluarga berkembang, bahkan untuk sekedar hidup-pun susah. Barangkali malah  dapat dikatakan melanggengkan kemiskinan. Itupun kesempatannya sangat sedikit.

Usaha mandiri tidak bergengsi ?
Berusaha atau dalam bahasa sehari-hari  disebut ”berdagang”, secara sosial budaya  (yang berlatar-belakang masyarakat pertanian dan priyayi), kurang dihargai, dianggap ”tidak punya status”, ”tidak bergengsi” dan beragam pandangan lain yang merendahkan. Orang lupa bahwa Nabi Muhamad, Rassululah Salalahu Alaihi Wasalam yang menjadi panutan milyaran umat Islam di seluruh dunia adalah seorang pedagang sukses yang tekun, cermat, jujur, ramah dan santun. Begitu terpercayanya beliau menjalankan usaha orang lain, sampai-sampai si Pemilik jatuh cinta dan menjadi isterinya yang sangat berbakti ; Siti Kotijah. Jadi, melakukan usaha secara tekun dan jujur adalah halal, terhormat dan memberikan kemungkinan untuk hidup berkecukupan.

Sumber nafkah keluarga; tunggal atau beragam ?
Dari berbagai hasil studi dan pengamatan langsung dalam kehidupan sehari-hari nampak jelas, rumah tangga yang pada awalnya miskin kemudian hidup berkecukupan, cenderung mengembangkan dan memiliki beragam sumber pendapatan keluarga dengan menggerakkan sumber daya yang dimiliki; tanah/lahan, tenaga/anggota keluarga, peralatan produksi, bakat, hubungan sosial,  informasi; dan selalu mencari peluang usaha yang menguntungkan. Mereka mengelola penghasilan itu dengan prinsip surplus dan produktif.

Masalah atau peluang ?
Ketika di seluruh Pulau Madura listrik padam karena kabel bawah lautnya putus ditabrak kapal; banyak orang kemudian berkeluh

kesah, marah, dan mengeluarkan sumpah serapah menghadapi masalah kegelapan tersebut. Apalagi untuk memperbaiki kerusakan itu, ternyata makan waktu cukup lama.
Tidak demikian halnya dengan mereka yang memiliki jiwa wirausaha. Mereka segera mencari sumber modal dan pergi ke Surabaya memborong bertruk-truk lilin, lampu teplok, senter dan generator mini, — karena ”melihat masalah kegelapan sebagai peluang”. Pada umumnya  orang melihat kegelapan karena listrik padam itu sebagai ”masalah” dan sumber kekecewaan semata. Hanya sebagian kecil orang yang melihat peluang untuk mendapat untung  ratusan juta dari masalah  kegelapan dengan  ”menjual  terang” dimalam hari ( berdagang lilin, lampu teplok, senter), dan daya listrik pengganti (generator mini) untuk mereka yang mampu.

Tidak demikian halnya dengan mereka yang memiliki jiwa wirausaha. Mereka segera mencari sumber modal dan pergi ke Surabaya memborong bertruk-truk lilin, lampu teplok, senter dan generator mini, — karena ”melihat masalah kegelapan sebagai peluang”. Pada umumnya  orang melihat kegelapan karena listrik padam itu sebagai ”masalah” dan sumber kekecewaan semata. Hanya sebagian kecil orang yang melihat peluang untuk mendapat untung  ratusan juta dari masalah  kegelapan dengan  ”menjual  terang” dimalam hari ( berdagang lilin, lampu teplok, senter), dan daya listrik pengganti (generator mini) untuk mereka yang mampu.

Kewajiban melakukan ihktiar terbaik
Secara akidah, bagi umat Muslim Allah SWT telah memfirmankan acuan yang sangat jelas didalam salah satu ayat Al Qur’an untuk tidak menyerah kepada nasib. Acuan itu sangat tegas dan konsisten namun kurang mewarnai sikap hidup dan perilaku kita : ”Allah SWT tidak akan merobah nasib orang atau kaum kalau orang atau kaum itu tidak berusaha untuk merobah nasibnya sendiri”. Sementara ada lagi acuan dalam Hadist ” Bekerjalah sekeras-kerasnya (mencari rejeki), seolah-olah kamu tidak akan mati, dan beribadahlah sebaik-baiknya seolah-olah besok pagi akan datang hari kiamat”.

MEWUJUDKAN  ”MIMPI BERWARNA”
Siapapun wajib menyatakan perang terhadap kemiskinan. Namun ”berperang” tanpa persiapan dan strategi yang tepat, — hanya sekedar latihan baris-berbaris dan membawa penthungan –,  adalah tindakan yang konyol. Apalagi tanpa memetakan dengan jernih kekuatan sendiri serta ”posisi dan kekuatan lawan”. Tindakan itu, bukan gelar perang, tetapi bunuh diri. Memerangi kemiskinan dengan sekedar membagi uang (atau bagi warga miskin yang masih potensial tetapi hanya sekedar mengharap bantuan) ibarat tindakan bunuh diri dengan maju perang membawa penthungan.
Sikap budaya dan praktek ”memberi dan menerima derma karena rasa  belas kasihan kepada warga miskin yang masih potensial ”  (pendekatan karitatif) seperti itu kurang taat kepada firman Allah Swt, yang mewajibkan ikhtiar sepenuh akal budi dengan semangat swadaya dan percaya diri. Kecuali bagi mereka yang cacat, orang jompo yang  tak memiliki keluarga dan anak-anak terlantar, menjadi kewajiban negara (dan setiap Muslim yang mampu) untuk menyantuni. Untuk membangkitkan semangat, harapan dan kepercayaan diri ajaklah mereka berdiskusi dalam kelompok tentang pokok-pokok dibawah ini dan merenungkan hasilnya:

1.  Mensyukuri karunia Allah
Allah mengkaruniakan kepada setiap orang; pikiran, perasaan, hati, dan akal budi. Yang membedakan adalah lingkungan budaya, sistim sosial-politik, kesempatan, kemampuan  dan ikhtiar. Lingkungan budaya seperti : maraknya takhayul, lemahnya penegakan hukum, konsumtif dan ”mendewakan uang”, mendamba kehidupan ”dugem”, ingin kerja ringan hasilnya banyak, korupsi, merendahkan kejujuran dan pengabdian ( ingat lagu Umar Bakri ?) dan kurang peduli kepada yang lemah; telah berpengaruh besar pada pembentukan karakter perorangan yang; selalu berkeluh-kesah, egois, kurang toleran, menyerah pada ”nasib buruk”, sedikit-sedikit marah, mudah beringas dan merusak. Tata nilai, sikap dan perilaku individu seperti itu menghambat perkembangan.

Hakekat dari semua ajaran agama samawi dan ciri masyarakat yang beradab adalah sikap santun, mencintai kebenaran dan melindungi golongan yang lemah. Padahal, diantara beragam hal yang buruk, dapat dicari yang baik. Diantara beragam kesengsaraan, ada relung-relung kebahagian. Pendeknya, orang perlu melihat hal-hal yang baik untuk disyukuri, dan menjadi titik tolak pengembangan agar memperoleh rahmat Allah lebih banyak lagi.

egois, kurang toleran, menyerah pada ”nasib buruk”, sedikit-sedikit marah, mudah beringas dan merusak. Tata nilai, sikap dan perilaku individu seperti itu menghambat perkembangan.
Hakekat dari semua ajaran agama samawi dan ciri masyarakat yang beradab adalah sikap santun, mencintai kebenaran dan melindungi golongan yang lemah. Padahal, diantara beragam hal yang buruk, dapat dicari yang baik. Diantara beragam kesengsaraan, ada relung-relung kebahagian. Pendeknya, orang perlu melihat hal-hal yang baik untuk disyukuri, dan menjadi titik tolak pengembangan agar memperoleh rahmat Allah lebih banyak lagi.

2.  Merumuskan tujuan hidup
Merumuskan tujuan hidup dengan jernih dan terukur, termasuk barang langka, apalagi dikalangan warga miskin yang ”hanyut” dalam hidup keseharian penuh kesulitan. Diduga pada kalangan masyarakat yang hidup berkecukupanpun hal ini jarang dilakukan. Tujuan hidup umumnya orang Indonesia saat ini adalah mencapai dengan segala cara kedudukan sosial yang tinggi dan menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, tanpa mempedulikan nilai-nilai moral, karakter dan perilaku yang menjamin kebahagiaan lahir, batin, dunia dan akhirat.  Membangun kewirausahaan dimulai dengan menggugah kesadaran tentang perlunya membangun karakter yang taat etika dan ikhtiar memperbaiki kehidupan dengan menetapkan tujuan hidup dan sasaran-sasaran yang terukur secara bertahap.
3.  Hidup senang dan membuat orang lain senang (SMS positif)
Wirausahawan yang sejati memiliki kemampuan komunikasi untuk membangun dan menikmati hubungan persahabatan yang tulus dengan orang lain. Banyak orang terseret pada ”rasa nikmat” untuk mempergunjingkan orang lain. Bahkan tanpa sadar terbangun karakter yang “SMS negatif”, senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang. Agar dapat diterima dalam pergaulan yang luas, memiliki banyak sahabat, seorang wirausahawan perlu membangun diri untuk memiliki karakter ”SMS positif”, senang membuat orang lain senang. Disenangi, dihargai dan dipercaya dalam pergaulan sosial sangat penting untuk mencapai keberhasilan usaha. Karena itu, ciri karakter yang perlu dibangun untuk menjadi wirausaha yang berhasil adalah, ”sadar, syukur, nalar, tulus, santun dan peduli, ditambah hidup produktif dan berbudaya surplus”.
4.  Harapan sebagai sumber motivasi,
Harapan adalah sumber motivasi, energi internal dan pendorong gerak setiap orang. Mengembangkan harapan (optimisme) yang disertai sikap sabar dan berikhtiar dengan tekun menjadi sangat penting. Kisah orang yang telah berhasil bebas dari kemiskinan dengan kegiatan usaha dapat menjadi cermin dan bahan belajar yang meneguhkan. Faktor-faktor apa yang membuat seseorang berhasil membebaskan diri dari kemiskinan dapat  ditelaah bersama sebagai pengalaman  nyata yang menarik (aktual dan empirik).
Ajaklah mereka untuk mengembangkan harapan kehidupan masa depan yang lebih baik. Kemudian melangkah belajar hidup berencana dengan menetapkan sasaran sederhana tertentu  yang ingin dicapai dalam jangka pendek; misalnya dalam setahun : ” Sampai dengan akhir tahun …………. saya ingin memiliki himpunan tabungan modal sendiri untuk mengembangkan usaha sebesar Rp……………….,-  Sasaran itu kemudian dirinci menjadi tindakan nyata yang dapat diukur. Yakinkan perlunya ketekunan untuk mulai berusaha dengan pinjaman dana bergulir, mengangsur secara tertib sesuai perjanjian dan menyisihkan secara disiplin sebagian dari laba usahanya untuk ditabung setiap hari, minggu atau bulan, sesuai kemampuan dan sasaran yang ingin dicapai.

jangka pendek; misalnya dalam setahun : ” Sampai dengan akhir tahun …………. saya ingin memiliki himpunan tabungan modal sendiri untuk mengembangkan usaha sebesar Rp……………….,-  Sasaran itu kemudian dirinci menjadi tindakan nyata yang dapat diukur. Yakinkan perlunya ketekunan untuk mulai berusaha dengan pinjaman dana bergulir, mengangsur secara tertib sesuai perjanjian dan menyisihkan secara disiplin sebagian dari laba usahanya untuk ditabung setiap hari, minggu atau bulan, sesuai kemampuan dan sasaran yang ingin dicapai.
5.  Akar perubahan
Yakinkan mereka bahwa akar dari probahan itu adalah; tekun berusaha, pendapatan yang meningkat, mengelola keuangan dengan prinsip surplus, rajin menabung dan menghimpun asset rumah tangga. Kalau sudah cukup uang, tetap dapat hidup sederhana, mengatur alokasi anggaran keluarga dengan cermat untuk memenuhi kebutuhan, dan tidak memperturutkan keinginan yang tidak berbatas.

SETELAH BULAT TEKAD KITA,
– MULAI –.
Serangkaian proses yang telah kita telaah bersama tersebut diatas; adalah tahapan mempersiapkan hati, pikiran, tekad dan motivasi untuk memperbaiki kehidupan dengan berusaha. Inilah jalan sempit yang mungkin berliku untuk menuju masa depan kehidupan yang berkecukupan dan layak bagi kemanusiaan.
Kalau kita berhenti disini, semuanya akan tinggal menjadi angan-angan. Angan-angan tidak merobah apa-apa. Untuk berobah, harus ada tindakan. Tindakan  akan merobah angan-angan menjadi kenyataan. Karena itu;  kita harus mulai.

1.  Mencari dan memilih peluang usaha
Langkah awal untuk memulai usaha adalah mencari dan memilih peluang, sesuai dengan  kemampuan (yang dapat dipelajari)  dan ketersediaan berbagai sumber daya yang diperlukan.
Kegiatan usaha dapat dipilih sesuai sektor dan jenis komoditasnya : 1) sektor produksi primer : a. pertanian (tanaman pangan, buah-buahan, bunga-bungaan, sayur-mayur, rempah-rempah, tanaman hias,); b. perkebunan (tebu, serat, kelapa sawit, jarak, karet, kopi, coklat, tembakau, lada); c. perikanan ( penangkapan ikan laut, budidaya ikan air tawar, tambak, ikan hias); d. peternakan (kuda, kerbau, sapi, kambing, ayam, itik, buaya, kelinci, anjing ras, babi, burung berkicau, lebah madu) e. Perhutanan (kayu, madu, bahan obat, berburu)  f. Pertambangan dan galian (pasir, batu, granit, batu-bara, biji besi, emas, perak, minyak);
2) sektor industri \pengolahan (kimia, tekstil, pengecoran logam, mesin, kendaraan, makanan, minuman, barang kerajinan, barang seni, perakitan, peralatan rumah tangga, obat-obatan);
3) sektor perdagangan (membeli dan menjual barang);
4) sektor jasa (komunikasi, transportasi, konstruksi,  bengkel las, bengkel sepeda motor, bengkel mobil, bengkel elektronika, jasa antaran, pengobatan, jasa hiburan, jasa pementasan, promotor pertandingan, penelitian, pelatihan, pemberdayaan, konsultasi).

Peluang usaha yang diminati, kemudian dievaluasi  dengan memberi nilai antara 1 sampai dengan 10  pada masing-masing faktor berikut :

1) besarnya permintaan pasar,

2) ketersediaan sumber daya,

3) kesederhanaan teknologi produksi,

4) kecilnya kebutuhan modal usaha

5) tingginya tingkat laba usaha,

6) rendahnya tingkat risiko usaha,

7) kuatnya daya saing di pasar,

8) pendeknya siklus usaha,

9) stabilnya harga bahan baku dan barang jadi,

10) tidak adanya limbah.

Dalam bahasa yang sederhana sering disebutkan bahwa usaha skala mikro sebaiknya dipilih yang bersifat ”quick yielding”,  artinya cepat menghasilkan, diminta oleh pasar, memerlukan modal kecil, teknokogi sederhana dan risiko usaha yang rendah.

Peluang usaha yang diminati, kemudian dievaluasi  dengan memberi nilai antara 1 sampai dengan 10  pada masing-masing faktor berikut :

1) besarnya permintaan pasar,
2) ketersediaan sumber daya,
3) kesederhanaan teknologi produksi,
4) kecilnya kebutuhan modal usaha
5) tingginya tingkat laba usaha,
6) rendahnya tingkat risiko usaha,
7) kuatnya daya saing di pasar,
8) pendeknya siklus usaha,
9) stabilnya harga bahan baku dan barang jadi,
10) tidak adanya limbah.
Dalam bahasa yang sederhana sering disebutkan bahwa usaha skala mikro sebaiknya dipilih yang bersifat ”quick yielding”,  artinya cepat menghasilkan, diminta oleh pasar, memerlukan modal kecil, teknokogi sederhana dan risiko usaha yang rendah.
2.  Mengenal diri
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu melakukan ikhtiar untuk mengenal diri sendiri. Disadari tahapan ini bukan pekerjaan yang mudah. Upaya dapat dilakukan melalui renungan pribadi sejujur-jujurnya, namun lebih baik dengan meminta bantuan sahabat dekat, atau dalam kelompok kecil yang sudah akrab. Secara umum penilian diri dilakukan dengan mengenali kekuatan dan kelemahan diri dengan mengacu pada ciri-ciri kepribadian yang diperlukan untuk menjadi wirausaha yang berhasil. Ini akan menyangkut; kesehatan, minat, sikap, kebiasaan, penggunaan waktu, penggunaan uang, disiplin, motivasi, kesabaran, kerajinan, ketekunan, SMS positif, pengetahuan, ketrampilan dll. Kemudian diteruskan dengan pertanyaan reflektif; adakah peluang (kemauan dan kemampuan kita) untuk memupuk kekuatan dan merobah kelemahan-kelemahan diri yang dapat diperbaiki. Adakah faktor-faktor dari dalam diri maupun dari luar yang mengancam kelangsungan dan keberhasilan usaha. Semua itu dilakukan agar upaya membangun kepribadian wirausaha dan kemampuan mengelola usaha — sesuai pilihan jenis usahanya –,  serasi dan mendukung.
3.  Belajar dari teman
Meski seorang calon wirausahawan telah bertekad bulat untuk memulai usaha, pilihan usahanya telah ditetapkan, sumber modal telah diiperoleh namun harus diakui kalau masih ada keraguan didalam hatinya untuk mulai.
Baginya berusaha adalah pengalaman baru. Suasana kejiwaan menghadapi pengalaman baru yang tegang dan kurang percaya diri harus dapat diterima sebagai kenyataan yang umum (universal). Bantuan terbaik menghadapi kesulitan psikologis itu adalah memberikan kesempatan untuk mengalami pada situasi sebenarnya dengan tanpa risiko. Kesempatan semacam itu adalah ”magang” atau belajar dari usaha teman atau orang lain yang sudah berjalan atau bahkan sudah berkembang. Kelemahan magang terjadi karena tidak terjadwal secara sistimatis sehingga peserta dapat belajar dan menguasi seluruh aspek dan siklus usaha secara lengkap. Program magang, sebaiknya dilakukan dengan persiapan pada kedua belah pihak secara cermat agar peserta dapat memperoleh pengalaman  dalam aspek : 1) perencanaan usaha, 2) proses produksi (atau belanja barang dagangan), 3) promosi dan pemasaran 4) penjualan dan pelayanan konsumen, 5) pencatatan usaha, 6) jenis risiko dan penangananya, 7) pengelolaan keuangan usaha, 8) monitoring, evaluasi dan pengendalian usaha.
4.  Membuat rencana usaha
Beberapa tahapan penting sudah kita lewati. Tekad untuk melakukan usaha sudah bulat, jenis usaha sudah kita pilih, kesadaran akan kekuatan, dan kelemahan diri sudah kita  temukan dan dengan ikhlas ingin memperbaiki. Sebelum memulai kita harus membuat rencana usaha. Pemikiran dasar menyusun rencana usaha adalah; — besarnya nilai penjualan dalam satu periode (hari, minggu, bulan) yang dapat menghasilkan laba usaha untuk memenuhi kebutuhan biaya hidup keluarga –.

5.  Menghitung, mencegah dan menanggulangi risiko
Tidak ada usaha yang tanpa risiko. Warga miskin sudah kenyang dengan risiko hidup; kesengsaraan dan penderitaan akibat kemiskinan.  Oleh karena itu, mereka perlu diyakinkan untuk melakukan segala ikhtiar yang terbaik tanpa dihantui oleh risiko dalam memulai usaha. Namun demikian, mengajak mereka untuk memperhitungkan, mencegah dan menanggulangi risiko sangatlah penting. Risiko tak terduga (force major) berupa bencana alam, gempa, kebakaran tidak perlu diperhitungkan karena juga tidak ada perusahaan asuransi yang mau memberikan jasa perlindungan. Hanya diperlukan kehati-hatian.
Risiko dirampok, dicuri hasil penjualannya atau digusur tempat usahanya mungkin lebih nyata. Pencegahanya, harus cermat dalam memilih lokasi dan menyimpan uang. Risiko usaha dapat beraneka ragam, tergantung pada jenis usahanya. Kerusakan bahan baku, ticegah dengan memilih pemasok yang teruji dan dapat dipercaya dengan penyimpanan  bahan baku yang sudah dibeli sesuai karakteristiknya. Risiko kerusakan barang jadi karena proses produksi; harus dicegah dengan menetapkan cara dan urutan proses produksi yang baku, memahirkan tenaga produksi, ketaatan kepada formula yang baku, dan pengendalian mutu dalam setiap tahapan. Risiko barang jadi yang tidak laku harus dicegah dengan jumlah produksi yang sesuai dengan permintaan pasar. Kalau baru bisa menjual 100 unit, tidak perlu membuat 200 unit. Perlu pengetahuan teknis untuk menyimpan produk jadi yang belum laku untuk dijual pada hari/periode berikutnya; sepanjang tidak merusak mutu barang yang kita jual. Jalan lain harus dicari agar dapat menggunakan barang jadi yang tidak laku sebagai bahan baku produk lanjutan.
Risiko kekurangan modal kerja harus dicegah dengan perencanaan kas yang seksama, tidak menjual secara kredit dan tidak menggunakan uang hasil penjualan untuk keperluan diluar usaha. Untuk produksi barang yang memerlukan tenaga dengan keakhlian sangat khusus dapat menimbulkan risiko ketergantungan yang harus dicegah dengan kemampuan pemik untuk membuat sendiri. Risiko persaingan harus dicegah dengan meningkatkan dan mempertahankan mutu barang dan layanan kepada konsumen dan pelanggan. Bila perlu dengan ikhtiar khusus yang ”mengikat batin” (misalnya memberikan kenangan pada hari ulang tahun mereka, menengok saat ada yang sakit).
6.  Mencari sumber modal
Idealnya, pelaku usaha pemula harus menggunakan modal sendiri. Dengan begitu, kalau usaha mengalami kegagalan, tidak menimbulkan beban berupa utang. Namun modal pinjaman ada juga sisi baiknya, karena akan menyebabkan pelaku usaha menjadi lebih serius dan hati-hati dalam menjalankan usaha. Jalan yang paling lazim adalah campuran, 50% modal sendiri dan 50% bersumber dari utang. Posisi inipun bagi warga miskin tidaklah mudah, oleh karena itu UPK memberikan pelayanan pinjaman dana bergulir untuk modal usaha, termasuk bagi pelaku usaha pemula tanpa mensyaratkan modal sendiri. Bagaimanapun sebaiknya pelaku usaha perlu menyiapkan modal sendiri antara 15-25% dari kebutuhan modal usaha. Sebagian dari dana milik sendiri itu akan ditabung sebagai dana tanggung renteng (untuk pinjaman pertama ). Pada pinjaman berikutnya bagian modal sendiri disyaratkan lebih besar, dengan pinjaman yang lebih besar untuk mengembangkan usaha.
Memulai usaha dengan pinjaman dana bergulir dari UPK harus diperlakukan sebagai kesempatan belajar usaha. Harapanya kalau usaha sudah berkembang dapat berhubungan sendiri secara langsung dengan lembaga keuangan (LKM, Bank atau Modal ventura) dengan jumlah pinjaman yang lebih besar untuk mengembangkan volume usaha. Mitos orang miskin tidak melakukan usaha karena tidak ada modal dalam kenyataannya tidaklah benar, yang benar karena belum memiliki kepribadian wirausaha.

Dan pada akhirnya, dari tulisan ini mudah-mudahan bisa menambah semangat dan memperkokoh keyakinan kita untuk memulai usaha secara mandiri. PERUBAHAN BUKANLAH SEKEDAR PERSOALAN WAKTU, NAMUN HARUS DICIPTAKAN…

Oleh : Muh Herlani Qosim


INTISARI

Pemberdayaan masyarakat desa merupakan salah aspek penting dalam mendorong tumbuhnya masyarakat desa yang mandiri, inovatif dan kreatif dalam segala aspek kehidupan. Diimplementasikannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberi peluang desa untuk menjadi daerah otonom. Sejalan dengan itu Kepala desa diharapkan menjadi salah satu actor pembangunan dalam mengkonkretisasikan kegiatan  pemberdayaan masyarakat. Masing-masing desa memiliki keunggulan dan keterbatasan dalam aspek sumber daya, sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Keterbatasan tersebut pada dasarnya bukan penghambat dalam mendorong masyarakat menjadi lebih berdaya dan mandiri. Untuk menuju kearah tersebut, peran pemimpin menjadi salah satu aktor penting dalam mengakomodasi berbagai kepentingan dan tuntutan masyarakat desa. Pembangunan desa lebih cenderung kepada sektor fisik dan bukan pada peningkatan kemampuan dan kapasitas masyarakat. Kepala Desa juga belum memiliki konsep serta program pembangunan yang jelas. Mereka hanya mengandalkan legitimasi yang dimiliki. Orientasi pemberdayaan masyarakat belum sampai menyentuh pada tujuan dan fungsi dasar dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat. Kemampuan kepemimpinan Kepala Desa sebagai motivator, administrator dan koordinator dalam proses pemberdayaan masyarakat juga belum berjalan optimal Perlunya peningkatan kualitas dan pengetahuan kepala desa dalam rangka meningkatkan kualitas kemampuan kepemimpinan sehingga dapat memberikan stimulasi kepada masyarakat, pembuatan kebijakan desa yang berorientasi kepada peningkatan kemampuan dan partisipasi masyarakat, perlunya merubah paradigma pembangunan masyarakat desa dari orientasi pembangunan fisik menuju kepada pembangunan sektor non fisik berbentuk peningkatan kapasitas dan kemampuan intelektual masyarakat desa

Pembangunan yang Berbasis Hak Asasi Manusia dan Tujuan-tujuan Pembangunan Millennium.

Pembangunan yang berbasis hak asasi manusia menghendaki kebijakan yang selaras dengan prinsip-prinsip, instrumen dan standar internasional hak asasi manusia, serta instrumen nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ada perbedaan antara  human-rights dengan human-capital approaches dalam pembangunan. Human Development Report 2000 mengakui bahwa meskipun terdapat persamaan ciri-ciri antara indikator pembangunan manusia dan indikator hak asasi manusia, kedua indikator ini juga memiliki beberapa perbedaan yang signifikan. Secara ringkas, indikator pembangunan mengukur kemajuan menuju perkembangan serta pertumbuhan dan bukan hak. Sebuah indikator hak-hak asasi manusia adalah sebuah alat untuk menentukan hingga sejauh mana suatu pemerintah memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan undang-undang hak asasi manusia. (Audrey R, Chapman, 2003, hal 65)

Pembangunan yang berbasis hak asasi di bidang pendidikan misalnya, telah dinyatakan di dalam amanat luhur kebangsaan Indonesia Indonesia tentang hak atas pendidikan,  di dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen,  ayat (1-) bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan di dalam ayat (2) dinyatakan , “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Amanat luhur kebangsaan ini dinyatakan lebih jelas lagi  dalam pasal UUD 1945, pasal 28 C yang berbunyi : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Hak atas pendidikan ia adalah hak ekonomi, sosial dan budaya yang sekaligus merupakan hak sipil dan hak politik. Pasal 13 Kovenan Hak-hak Ekonomi, sosial dan Budaya 1966, menyatakan : Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Negara-negara tersebut sepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan sepenuhnya kepribadian manusia dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya sepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang beabs, memajukan pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan meningkatkan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.

Kalau kita perhatikan dengan cermat, maka nampak dengan jelas bahwa 7 dari 8 Tujuan-tujuan Pembangunan Millennium adalah pembangunan yang berbasis Hak Asasi Manusia :

  1. 1.      Memberantas kemiskinan dan kelaparan;
  2. 2.      Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
  3. 3.      Mendorong kesetaraan gender & pemberdayaan perempuan;
  4. 4.      Menurunkan angka kematian anak;
  5. 5.      Meningkatkan kesehatan ibu;
  6. 6.      Mengurangi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya;
  7. 7.      Kelestarian lingkungan hidup;
  8. 8.      Membangun kemitraan global dlm pembangunan.

Realisasi tujuan-tujuan pembangunan millennium ini sangat berkaitan dengan realisasi hak-hak dasar dalam kehidupan manusia. Dan realisasi dari Millennium Development Goals ini telah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia yang dinyatakan dalam Sidang Umum PBB di Millennium Summit, pada bulan Desember 2000. Dan ini telah menimbulkan “state’s obligation” untuk merealisasikannya.


KEGIATAN SOSIAL DI DESA CEPOKOSAWIT

Sebuah usaha bersama dari masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok, berencana melakukan kegiatan pengelolaan usaha bersama dalam bentuk pemeliharaan kambing, dimana mulai adanya program PNPM Mandiri Perkotaan di Desa Kemasan mulai  tahun 2008 oleh  kelompok masyarakat yang  akan memanfaatkan Bantuan Langsung Masyarakat ( BLM ) PNPM Mandiri Perkotaan, khususnya kegiatan Kambing Bergulir oleh masyarakat yang tergabung dalam KSM . Untuk persiapan di tingkat kelompok  masyarakat perlu kiranya dilakukan rembug-rembug yang terkait dengan beberapa kebutuhan kelompok, antara lain :

  1. Rembug prioritasi penerima manfaat Rencana Kegiatan Kambing Bergulir untuk Gakin
  2. Rembug kesiapan swadaya masyarakat  untuk masing-masing anggota yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat
  3. Rembug penetapan jumlah kambing dan pemilihan kualitas kambing yang akan diterima oleh KSM, disesuaiakan dengan kondisi dan kemampuan kelompok
  4. Rembug  persiapan rencana pengelolaan kedepan, termasuk pengendalian,pengawasan dan monitoring Evaluasi
  5. Rembug  persiapan penyusunan proposal kegiatan

Dengan berbekal berbagai rembug tentunya ada keterlibatan langsung calon anggota KSM dan penerima manfaat dalam kegiatan tersebut, dan ini diharapkan ada trasnparansi dan akuntabilitas diantara anggota kelompok pengelola Kambing . Kalau dilihat dari sisi ekonomis pengelolaan kambing di tingkat keluarga ada nilai positif yang melandasi pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik, diantaranya :

  • Kesadaran dan motivasi yang kuat dari semua anggota keluarga untuk mencapai pertumbuhan dan kehidupan ekonomi yang baik
  • Menggerakkan seluruh kemampuan dan potensi  ekonomi keluarga guna mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi
  • Adanya pengendalian berupa perencanaan ekonomi rumah tangga dan pengendalian pelaksanaannya sehari-hari secara ta’at dan disiplin
  • Adanya keterbukaan,kejujuran,disiplin serta kerjasama semua anggota
  • Adanya susunan prioritas kebutuhan dan alokasi sumber ekonomi didasarkan atas tingkat kemendesakan kebutuhan

Di Desa Cepokosawit rencana kegiatan Kambing bergulir akan dimanfaatkan oleh  30 orang  yang tersebar dalam :

No Nama KSM Alamat BLM PNPM Swadaya Rencana Jumlah Kambing yang diterima Pemanfaat
1 Gombangan Jaya Gombangan RT  4 / I 700.000 100.00 2 ekor 4 orang
2 Mandiri Sejahtera Blethengan RT 2 / I 1.000.000 200.00 2 ekor 8 orang
3 Sejahtera Kenteng     RT 6 /I 1.250.000 1.500.000 2 ekor 8 orang
4 Turangga Gambuhan RT 3 / I 1.000.000 1.000.000 1 ekor 5  orang
5 Rejeki Lancar Satriyan RT 5/I 1.250.000 500.000 2 Ekor 5 orang
Jumlah 5.200.000 3.300.000 7 ekor 30 orang

Tehnis pengelolaan kegiatan Kambing bergulir, yaitu sebagaimana diatur dalam kesepakatan antar anggota kelompok pemanfaat yang tergabung dalam KSM adalah sebagai berikut :

  • Satu KSM mendapatkan jumlah ekor kambing disesuaikan dengan jumlah dana BLM yang diterima per KSM
  • Apabila pada saat pengelolaan Kambing mengalami kesehatan yang kurang baik, ada inisiatif dari anggota kelompok untuk mencarikan Mantri Hewan
  • Apabila pada saat pengelolaan Kambing ada yang mati, ada inisiatif dari anggota kelompok untuk mencarikan bukti/keterangan Kambing mati karena penyakit,tua,atau pada saat persalinan, dan diberitahukan kepada Unit Pengelola Sosial BKM makmur Desa Cepokosawit dan pihak Pemerintah Desa ( dalam bentuk surat pemberitahuan ).
  • Apabila pada saat pengelolaan Kambing ada yang mandul, ada inisiatif dari anggota kelompok untuk memberikan keterangan bahwa Kambing Majer/mandul setelah sekian bulan dipelihara oleh KSM dan diberitahukan kepada Unit Pengelola Sosial BKM makmur Desa Cepokosawit dan pihak Pemerintah Desa ( dalam bentuk surat pemberitahuan ).
  • Untuk menghindari pengelolaan Kambing dikemudian hari tidak banyak kendala dalam pemeliharaan perlu kiranya dilakukan survey agar mendapatkan kualitas Kambing yang baik.
  • Ada pola pelaporan dari anggota KSM apabila Kambing yang dikelola/dipelihara sudah ada anak, dan ada kesepakatan model yang akan dipakai dalam mengalihkan induk Kambing, setelah masa anak Kambing siap untuk disapeh dari induknya
  • Perlu adanya seleksi untuk calon pemanfaat berikutnya terhadap induk  Kambing yang akan digulirkan kemasyarakat

Keterlibatan masyarakat sebagai  control social di masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan kepada pengelola dalam hal ini Unit Pengelola Sosial BKM Makmur Desa Cepokosawit serta peran aparat desa Cepokosawit juga memegang peranan dalam mensukseskan kegiatan Kambing bergulir, serta dinas perternakan yang ada diwilayah Kecamatan sawit pada umumnya. Anggota BKM Makmur juga mempunyai peran dalam monitoring pelaksanaan kegiatan Kambing bergulir , pencatatan dan monitoring dimaksudkan untuk memperoleh data sebagai bahan dalam melalukan evaluasi, apakah rencana yang disusun dapat dilaksanakan, apa terdapat penyimpangan, seberapa besar/jauh penyimpangan tersebut, mengapa bias terjadi dan bagaimana memperbaikinya.

Berikut petikan wawancara dengan salah satu anggota KSM Sejahtera Kegiatan Kambing Bergulir di Desa Cepokosawit

Apa manfaat yang akan dirasakan dengan adanya kegiatan Kambing bergulir ?

Anggota KSM : Senang , untuk menambah kegiatan harian biar tidak melamun, ada  perubahan pola pikir dan perilaku pada seseorang serta ada kepedulian dari masyarakat sekitar, wawasan terbuka untuk bersosialisasi dengan warga sekitar.

Apabila sudah berkembang, apa rencana selanjutnya ?

Anggota KSM : Dikembangkan untuk persiapan biaya sekolah, dan pemenuhan biaya keluarga

Apa masukan atau saran untuk UPS BKM dengan keberadaan Kegiatan Kambing Bergulir ?

Anggota KSM : Unit Pengelola Sosial diminta melakukan pemetaan terhadap pemanfaat lain                       ( pemelihara kambing ) agar kegiatan kambing bergulir tidak berhenti sesaat

Sebuah niat yang tulus dari setiap anggota Kelompok Swadaya Masyarakat akan berdampak pada hasil yang memberikan nilai lebih dan tinggi harganya dibandingkan kalau penerima manfaat hanya mengharap bantuan tanpa ada niat untuk berusaha dan mengembangkan apa yang direncanakan,dikelola,diawasi oleh seluruh lapisan masyarakat. Demikian sebaris tulisan yang kami ungkapkan dari hasil pengalaman dimasyarakat yang tergabung dalam KSM dalam perencanaan kegiatan kemasyarakat dalam bentuk pengelolaan Kambing yang diperuntukkan oleh masyarakat miskin yang membutuhkan uluran tangan dari masyarakat yang mampu ataupun dari program-program Pemerintah dan dikemas dalam program Pemberdayaan Masyarakat.


Melahirkan Bukan Menjemput Kematian

Jamilah (24 th) akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah melahirkan anaknya yang kedua. Rashid, suami Jamilah, dan Ali anak pertama mereka cuma dapat tercenung memandangi mayit Jamilah yang membiru. Berdasarkan kabar dari Rashid, pada waktu itu Jamilah tidak terlalu merasa tegang menghadapi persalinan karena persalinan tersebut adalah persalinan yang kedua kalinya. Ia percaya Jamilah dapat melewati masa-masa kritis seperti ketika pada masa persalinannya yang pertama. Tetapi apa hendak di kata, Tuhan berkehendak lain. “Dia lebih menyayangi Jamilah sehingga cepat memanggilnya ke sisi-Nya” ujar Rashid, suami Jamilah disela-sela pemakaman. Kini Rashid harus mengasuh 2 anaknya sendirian, menjadi ibu sekaligus menjadi bapak bagi mereka. (seperti diceritakan Rashid kepada redaksi)

Rashid memang bukan satu-satunya suami yang harus menerima kematian istrinya
karena melahirkan. Mungkin ada ratusan Rashid-Rashid yang lain yang memiliki nasib yang sama. Kepasrahan Rashid memang tidak salah, toch apa yang dapat kita perbuat lagi jika takdir yang dikemukakan dalam masalah ini. Namun, menyimak kasus ini, nampaknya Rashid sebagai suami lupa bahwa dalam Islam, takdir bukanlah sebuah kepasrahan mutlak. Karena dalam Islam kita mengenal usaha, do’a, dan tawakkal. “Faizaa ‘azamta fatawakkal ‘alallah” (QS Ali Imron; 159). Maksud ayat ini adalah setelah kita berusaha, berikhtiar maka barulah kita berserah diri kepada keputusan dan takdir yang Allah tetapkan. Jika memang demikian maka usaha mengatasi dan memberikan pelayanan yang lebih baik untuk mencegah kematian karena proses seorang ibu melahirkan sesungguhnya adalah bagian dari ikhtiar.

Kasus di atas bukan satu-satunya kasus, akan tetapi dari kasus itu tidak bisa dipungkiri bahwa perhatian terhadap hak-hak perempuan ternyata tetap menjadi faktor yang penting bagi ibu melahirkan. Perhatian tersebut akan mampu menepis anggapan bahwa hamil dan melahirkan memang sudah merupakan kodrat perempuan yang di satu sisi dapat menepis segala penghargaan yang seharusnya diperoleh oleh perempuan ketika ia hamil. Pun anggapan bahwa kematian dalam persalinan akan masuk surga adalah anggapan yang dapat mengakibatkan bahwa kematian ibu tidak perlu disesali tetapi justru disyukuri. Namun, seperti dijelaskan di atas, anggapan tersebut sudah selayaknya diluruskan, bahwa manusia perlu berikhtiar untuk mendapatkan yang terbaik. ‘Meskipun dalam agama disebutkan bahwa seorang ibu yang meninggal dunia pada saat melahirkan akan mati Syahid, namun Allah juga mengajarkan kepada kita untuk berikhtiar. Kita sakit ikhtiarnya adalah berobat atau berusaha sembuh. Jadi kalau perempuan melahirkan kita juga harus ikhtiar untuk mengusahakan supaya selamat’.

Jangan sampai terlambat
Dalam urusan proses reproduksi dan keberlanjutan keturunan, peran ibu (perempuan) tidak dapat dibantah lagi. Di rahimnyalah calon-calon generasi baru bersemayam selama sembilan bulan, untuk kemudian dilahirkan, menghisap saripati kehidupan, menikmati dekapan dan belaian kasih sayangnya, lalu belajar menjalani kehidupan di muka bumi sebagai manusia. Tidak mengherankan pula berkat peran pentingnya itu, kemudian memunculkan satu pandangan dan nilai-nilai dalam masyarakat untuk meletakkan segala sesuatu yang berkaitan dengan reproduksi ke pundak istri, ibu, atau perempuan. Padahal urusan reproduksi, sekali lagi, bukanlah hanya urusan perempuan atau ibu, bahkan sudah sejak lama al-Qur’an memperingatkan untuk tidak hanya menyodorkan kewajiban kepada para ibu tetapi justru memberikan perhatian yang besar terhadap hak-hak mereka. Hal itu tertulis dalam QS al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi, ”Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…”

Namun sayangnya, kuatnya pengaruh adat dan budaya menjadikan hampir semua suami-istri masih memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi tanpa melalui proses komunikasi antarpribadi yang mengutamakan kesetaraan. Sehingga banyak peristiwa reproduksi yang dilewatkan tanpa pembahasan antara suami-istri, berjalan demikian saja mengikuti kelaziman masyarakat sekitar. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, di masyarakat masih berlaku kebiasaan di mana sebagian besar suami-istri hanya berbincang tentang ukuran keluarga ketika ingin menambah jumlah anak, tetapi tidak detail hingga menyentuh masalah kesiapan si istri untuk menerima kehamilan baru. Jika saja proses komunikasi yang setara antara suami-istri dapat terjadi, mungkin beban para perempuan dan ibu dapat lebih ringan. Hal yang mungkin jadi persoalan, adalah sejauh mana pengetahuan dan pemahamam soal kesehatan reproduksi yang ada pada diri suami. Dalam Islam, tindakan menghindari keburukan itu jauh lebih baik daripada mendiamkan sesuatu secara sadar sehingga terjadilah keburukan. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan, jauh lebih baik. Oleh karena itu, ada hadits tentang bagaimana tuntutan kepada umat Islam untuk ingat antara lain sehat sebelum sakit, lapang sebelum sempit. Untuk itulah, jika setelah melakukan pemeriksaan kesehatan diketahui keadaan alat reproduksi istri sudah mengandung risiko tertentu atau membahayakan bila hamil misalnya, suami hendaknya mengerti dan menjaga istri tidak hamil dan melahirkan. Bahkan, jika memang akan sangat berbahaya, mereka tidak melakukan hubungan intim. Dalam hal ini pasangan suami istri perlu bermusyawarah tentang rencana hidup rumah tangganya di masa kini dan mendatang, termasuk soal kapan hamil, melahirkan, dan berkonsentrasi mendidik anak atau memenuhi kebutuhan material rumah tangga.

Berdasarkan data dari World Resources Institute tahun 1999, kasus kematian ibu di Indonesia sampai detik ini mencapai angka 650 per 100.000 kelahiran. Dalam hal ini seperti dikutip dari pernyataan Dr. Abdullah Cholil, MPH, Direktur Maternal and Neonatal Health (MNH), tingginya angka kematian ibu di Indonesia selain karena faktor 3 keterlambatan (terlambat mengenali bahaya, terlambat membawa ke tempat rujukan dan terlambat memberikan pelayanan di tempat rujukan), juga karena 4 terlalu (terlalu muda hamil, terlalu rapat jarak kehamilan, terlalu sering hamil, dan hamil di usia yang terlalu tua) (Sumber; majalah Ummi edisi 1/XIV/2002). Bahkan 4 terlalu di atas tidak hanya dapat memicu kematian ibu akan tetapi juga kematian bayi saat ini mencapai angka 50 per 1000 kelahiran bayi (Kompas, 18/10/2003). Terlalu sering atau terlalu dekat jarak kehamilan misalnya akan sangat berpengaruh pada kesiapan organ reproduksi ibu disamping juga proses penyempurnaan hak anak memperoleh susu ibu. Dan bagi Dr.Abdullah Cholil, jika 4 terlalu tersebut dapat diperhatian lagi maka 85% kematian ibu dapat dihindarkan. Tentu saja untuk itu diperlukan partisipasi dari seluruh pihak, baik dari kalangan medis maupun ulama untuk ikut mewujudkan itu. Apalagi pada tahun ini pemerintah memiliki target untuk menurunkan 50% angka kematian ibu.

Upaya mengubah Nasib Ibu

Masih dari data World Resources Institute tahun 1999, tercatat bahwa dari sekian negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Afganistan adalah negara dengan tingkat angka kematian ibu tertinggi yaitu mencapai 1.700 per 100.000 kelahiran, disusul Indonesia dengan 650 per 100.000 kelahiran, Pakistan dengan 340 per 100.000, Iran 120 per 100.000 kelahiran dan terakhir Malaysia dengan 80 per 100.000 kelahiran. Jika dibandingkan dengan negara Asia lain yang penduduknya mayoritas non muslim data yang didapat jauh berbeda. Jepang misalnya hanya mencatat angka 18 per 100.000 kelahiran, Singapore 10 per 100.000 kelahiran, sedangkan China mencatat angka 95 per 100.000. Jika demikian sudah sepatutnya pemerintah menjadikan masalah ibu dan anak sebagai masalah prioritas untuk diatasi. Apalagi jika pemerintah memang betul serius hendak menurunkan angka kematian ibu hingga sampai dengan target angka 120 per 100.000 kelahiran.

Kematian ibu sebagai fenomena duka nasional tidak terjadi sendiri, akan tetapi dia dpengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu faktor sosial, faktor budaya, hingga faktor ekonomi. Secara sosial, hal yang mempengaruhi tingginya angka kematian ibu dan kesehatan reproduksi perempuan, antara lain faktor kemiskinan, ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, kawin di usia muda, tingkat pelayanan kesehatan reproduksi yang buruk, dan kurangnya pendidikan kesehatan. Sedangkan faktor budaya adalah masih kuatnya mitos-mitos budaya berkaitan dengan kesehatan dan pemahaman ajaran agama. Dan untuk faktor ekonomi, jelas masalah kemiskinan menjadi faktor dominan dalam semua hal ini. Seperti dikatakan Ninuk Widyantoro, miskinnya masyarakat juga akan membawa mereka menjadj miskin pengetahuan dan infromasi. Padahal dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan kesehatan para ibu, pengetahuan dan informasilah yang harusnya dapat dipermudah diperoleh. Sehingga dengannya segala tindakan pencegahan dapat dilakukan. Namun, jika dilihat dari faktor kemiskinan, standar kemiskinan di Indonesia saat ini saja jika diukur dengan kalori yang dikonsumsikan setiap anggota keluarga hanya berjumlah 2100 kalori/orang atau dengan penghasilan Rp 500.000,- per kepala keluarga sesuai dengan UMR. Kondisi miskin ini tidak bisa tidak menempatkan perempuan pada kondisi yang lebih miskin sehingga aksesnya terhadap pendidikan, ekonomi dan kesehatan menjadi lebih terbatas. Pada kondisi miskin, perempuan terjerat hidup dengan gizi rendah dan akhirnya menderita anemia dan cenderung melahirkan anak dengan berat lahir rendah (BBLR) sehingga dalam proses tumbuh kembang selanjutnya mengalami hambatan. Kemiskinan sangat berpengaruh menentukan tingkat akses dan pelayanan kesehatan bagi perempuan maupun KIE (komunikasi, informasi dan edukasi). Apalagi pada kelompok masyarakat kelompok perempuan yang terpinggirkan itu sering dijadikan sasarn dan target kebijakan politik terutama dalam system keluarga berencana tanpa informasi dan pilihan (Anita Rahman, 2003)

Kebiasaan budaya adalah faktor lain yang memperburuk kondisi perempuan. Kebiasaan budaya yang merupakan mitos yang berkaitan dengan kesehatan yaitu dipantangkannya bagi perempuan untuk memakan makanan tertentu yang masih banyak melekat pada sebagian masyarakat di Indonesia. Misalnya banyak makan makanan yang dipantang kepada perempuan yang bila perempuan memakannya akan berdampak negatif pada vagina (becek) dan saluran reproduksinya (keputihan) sehingga tidak disukai suaminya, padahal makanan tersebut bermanfaat bagi kesehatan tubuh perempuan. Dengan memantangkan berbagai makanan karena terikat dengan mitos itu perempuan kehilangan akses terhadap gizi dan nutri makanan tertentu. Akibat kekurangan gizi itulah salah satunya menjadi pemicu perempuan sangat rentan ketika hamil dan melahirkan. Jika mitos ini terus dipercayai dan disosialisasikan bukan tidak mungkin kematian ibu karena kurang gizi tidak dapat dicegah . Sedangkan untuk faktor ekonomi, jika perempuan di negeri ini miskin secara materi jelas akan berakibat kepada miskinnya perempuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik karena pelayanan kesehatan yang baik sangat mahal. Mahalnya pelayanan ini disebabkan karena dana yang disediakan pemerintah untuk masalah kesehatan ibu dan anak sangat minim. Hal ini sesungguhnya keprihatinan di tengah usaha Indonesia sendiri dalam rangka mendongkrak peringkat ke-110 untuk hal pembangunan manusia. Namun, kenyataan nampaknya memang harus diterima para kaum ibu karena nampaknya pemerintah masih belum mampu merubah peringkat itu ke peringkat yang lebih baik dengan hanya mengalokasikan sekitar 1,4% dana untuk kesehatan dari seluruh total angggaran pendapatan negara (APBN). Sedangkan indikator utama dari membaiknya pembangunan manusia suatu negara akan dilihat dari berapa besar angka kematian ibu dan kematian bayi. Terutama dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi, sebagai indikator sensitif dari derajat kesehatan sebuah negara.

Kehamilan, persalinan dan kematian ibu.

Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan. Menghadapi masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe Motherhood yang mempunyai prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita terutama paada masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.


INTISARI

Pemberdayaan masyarakat desa merupakan salah aspek penting dalam

mendorong tumbuhnya masyarakat desa yang mandiri, inovatif dan kreatif dalam

segala aspek kehidupan. Diimplementasikannya Undang-undang Nomor 22

Tahun 1999 memberi peluang desa untuk menjadi daerah otonom. Sejalan

dengan itu Kepala desa diharapkan menjadi salah satu actor pembangunan

dalam mengkonkretisasikan kegiatan  pemberdayaan masyarakat.

Masing-masing desa memiliki keunggulan dan keterbatasan dalam aspek sumber daya, sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Keterbatasan tersebut pada dasarnya bukan

penghambat dalam mendorong masyarakat menjadi lebih berdaya dan mandiri.

Untuk menuju kearah tersebut, peran pemimpin menjadi salah satu aktor penting

dalam mengakomodasi berbagai kepentingan dan tuntutan masyarakat desa.

Pembangunan desa lebih cenderung kepada sektor fisik dan bukan pada

peningkatan kemampuan dan kapasitas masyarakat. Kepala Desa juga belum

memiliki konsep serta program pembangunan yang jelas. Mereka hanya

mengandalkan legitimasi yang dimiliki. Orientasi pemberdayaan

masyarakat belum sampai menyentuh pada tujuan dan fungsi dasar dalam

rangka meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat. Kemampuan

kepemimpinan Kepala Desa sebagai motivator, administrator dan koordinator

dalam proses pemberdayaan masyarakat juga belum berjalan optimal

Perlunya peningkatan kualitas dan pengetahuan kepala desa dalam rangka meningkatkan

kualitas kemampuan kepemimpinan sehingga dapat memberikan stimulasi

kepada masyarakat, pembuatan kebijakan desa yang berorientasi kepada

peningkatan kemampuan dan partisipasi masyarakat, perlunya merubah paradigma pembangunan masyarakat desa dari orientasi pembangunan fisik

menuju kepada pembangunan sektor non fisik berbentuk peningkatan kapasitas

dan kemampuan intelektual masyarakat desa

Pembangunan yang Berbasis Hak Asasi Manusia dan Tujuan-tujuan Pembangunan Millennium.

Pembangunan yang berbasis hak asasi manusia menghendaki kebijakan yang selaras dengan prinsip-prinsip, instrumen dan standar internasional hak asasi manusia, serta instrumen nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ada perbedaan antara  human-rights dengan human-capital approaches dalam pembangunan. Human Development Report 2000 mengakui bahwa meskipun terdapat persamaan ciri-ciri antara indikator pembangunan manusia dan indikator hak asasi manusia, kedua indikator ini juga memiliki beberapa perbedaan yang signifikan. Secara ringkas, indikator pembangunan mengukur kemajuan menuju perkembangan serta pertumbuhan dan bukan hak. Sebuah indikator hak-hak asasi manusia adalah sebuah alat untuk menentukan hingga sejauh mana suatu pemerintah memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan undang-undang hak asasi manusia. (Audrey R, Chapman, 2003, hal 65)

Pembangunan yang berbasis hak asasi di bidang pendidikan misalnya, telah dinyatakan di dalam amanat luhur kebangsaan Indonesia Indonesia tentang hak atas pendidikan,  di dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen,  ayat (1-) bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan di dalam ayat (2) dinyatakan , “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Amanat luhur kebangsaan ini dinyatakan lebih jelas lagi  dalam pasal UUD 1945, pasal 28 C yang berbunyi : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Hak atas pendidikan ia adalah hak ekonomi, sosial dan budaya yang sekaligus merupakan hak sipil dan hak politik. Pasal 13 Kovenan Hak-hak Ekonomi, sosial dan Budaya 1966, menyatakan : Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Negara-negara tersebut sepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan sepenuhnya kepribadian manusia dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya sepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang beabs, memajukan pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan meningkatkan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.

Kalau kita perhatikan dengan cermat, maka nampak dengan jelas bahwa 7 dari 8 Tujuan-tujuan Pembangunan Millennium adalah pembangunan yang berbasis Hak Asasi Manusia :

  1. 1.      Memberantas kemiskinan dan kelaparan;
  2. 2.      Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
  3. 3.      Mendorong kesetaraan gender & pemberdayaan perempuan;
  4. 4.      Menurunkan angka kematian anak;
  5. 5.      Meningkatkan kesehatan ibu;
  6. 6.      Mengurangi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya;
  7. 7.      Kelestarian lingkungan hidup;
  8. 8.      Membangun kemitraan global dlm pembangunan.

Realisasi tujuan-tujuan pembangunan millennium ini sangat berkaitan dengan realisasi hak-hak dasar dalam kehidupan manusia. Dan realisasi dari Millennium Development Goals ini telah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia yang dinyatakan dalam Sidang Umum PBB di Millennium Summit, pada bulan Desember 2000. Dan ini telah menimbulkan “state’s obligation” untuk merealisasikannya.


Partisipasi PNPM MP pada Even-even nasional sebagai salah satu cara sosialisasi Program PNPM

DSCN8848 (Small)DSCN8841dDSCN8866DSCN8859DSCN5120 (Small)